google-site-verification=-VT47BRGBGVdLjDl0yFFwnFoh2EwaFmBfVYKS-2bM-A KERAJAAN DAHA Kalsel - PULPENWANKERTAS

KERAJAAN DAHA Kalsel

KERAJAAN NEGARA DIPA, 1362-1448

Sesuai dengan rencana yang sudah digagas oleh Raja Hayam Wuruk, orang yang bakal menjadi raja di bekas wilayah Kerajaan Nan Sarunai itu adalah putranya Pangeran Surianata.
Tahun 1362, Empu Jatmika mulai mempersiapkan prosesi penjemputan Pangeran Surianata dari Kerajaan Majapahit. Tapi, Empu Jatmika tiba-tiba jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Tugas penjemputan itu diambil alih oleh anaknya Lambung Mangkurat.
Sejak tahun 1362 ini Pangeran Surianata berkuasa di bekas wilayah Kerajaan Nan Sarunai. Ia menobatkan dirinya sebagai raja di Kerajaan Negara Dipa. Nama ini berasal dari bahasa Maanyan dipah ten, artinya kerajaan di seberang situ.
Pemakaian kosa-kata bahasa Maanyan dipah ten muntuk menyebut nama Kerajaan Negara Dipa yang didirikan oleh Pangeran Surianata, tak pelak lagi merupakan petunjuk ke tiga bahwa Kerajaan Nan Sarunai adalah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini.
Pangeran Surianata memusatkan pemerintahannya di sekitar kota Amuntai sekarang ini, tepatnya di pertemuan antara sungai Tabalong dengan sungai Balangan, tak jauh dari lokasi berdirinya Candi Agung sekarang ini.
Pasca runtuhnya Kerajaan Nan Sarunai etnis Maanyan masih mempunyai tokoh pemersatu, yakni Putri Junjung Buih, anak sulung dari raja terakhir Kerajaan Nan Sarunai.
Tidak lama berkuasa, Pangeran Surianata menikahi Putri Junjung Buih Sejak itu, tidak ada lagi konplik politik antara orang Jawa sebagai suku bangsa pendatang versus orang Maanyan (berikut suku bangsa lainnya) sebagai suku bangsa penduduk asli di daerah ini.
Selama keberadaannya, Kerajaan Negara Dipa diperintah oleh 5 orang raja, yaitu : Pangeran Surianata (1362-1385), Pangeran Surya Gangga Wangsa (1385-1421), Raden Carang Lalean (1421-1436), Putri Kalungsu (1436-1448), dan Raden Sari Kaburangan (Raden Sekar Sungsang)(1448).

KERAJAAN NEGARA DAHA, 1448-1526

Setelah dinobatkan sebagai raja baru, Raden Sari Kaburangan memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah Muara Hulak (kota Negara sekarang ini). Tidak hanya itu, Raden Sari Kaburangan juga mengganti nama kerajaannya menjadi Kerajaan Negara Daha.
Tampilnya Raden Sari Kaburangan sebagai raja di Kerajaan Negara Daha merupakan peristiwa yang menandai pulihnya kembali hegemoni etnis Maanyan sebagai penguasa di tanah leluhurnya sendiri, sama seperti yang berlaku pada masa-masa kejayaan Kerajaan Nan Sarunai dahulu. Memang, di dalam tubuh Raden Sari Kaburangan mengalir darah Jawa yang diwarisinya dari kakek buyutnya Pangeran Surianata. Namun, darah Jawa itu sudah semakin tawar karena Raden Sari Kaburangan merupakan generasi ke empat (buyut). Ini berarti, secara genetik darah yang mengalir di dalam tubuhnya didominasi oleh darah Maanyan.
Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman Kerajaan Negara Daha adalah Candi Laras yang terletak di pinggiran kota Margasari, Tapin. Pengujian C-14 yang dilakukan terhadap tiang bangunan Candi Laras menghasilkan angka tahun dengan kisaran 1240-1426 M (Wasita dkk, 2000:12-13).
Selama keberadaannya, Kerajaan Negara Daha diperintah oleh empat orang raja beragama Budha sebagaimana yang tercermin dari Candi Laras yang merujuk kepada ciri-ciri candi Budha, yaitu : Raden Sari Kaburangan (1448-1486), Maharaja Sukarama (1486-1525), Arya Mangkubumi (1525), dan Pangeran Tumanggung (1525-1526).
Pada masa pemerintahan Maharaja Sukarama, yakni pada tahun 1511, Kerajaan Negara Daha menerima kedatangan suku bangsa Melayu warga negara Kerajaan Melaka yang terpaksa melakukan migrasi massal ke mana-mana menyusul jatuhnya Kerajaan Melaka ke tangan penguasa kolonial Portugis. Mereka kemudian tinggal menetap di tepi kiri dan kanan Sungai Kuin (sekarang termasuk dalam wilayah kota Banjarmasin) bergabung dengan suku bangsa Melayu di bawah pimpinan Patih Masih yang sudah lama menetap di sana.
Pada tahun (1415) terjadi kemelut politik di Kerajaan Negara Daha. Maharaja Sukarama mengeluarkan sabda pandita ratu yang berisi wasiat agar yang dinobatkan sebagai raja baru sepeninggalnya nanti adalah cucunya Pangeran Samudra, bukan anaknya yang tertua Arya Mangkubumi atau anaknya yang ke dua Pangeran Tumanggung.
Namun, wasiat tinggal wasiat, ketika Maharaja Sukarama mangkat, Arya Mangkubumi segera mengambil alih kekuasaan (1416). Tapi, tidak lama kemudian ia tewas terbunuh di tangan Sa’ban seorang pembunuh bayaran yang setia kepada Pangeran Tumanggung (1519). Setelah membunuh Sa’ban, Pangeran Tumanggung menobatkan dirinya sebagai raja yang baru (1519).
Pangeran Samudra yang ketika itu masih muda belia segera mengungsi menyelamatkan dirinya ke daerah Muara Kuin, Banjarmasin. Di sini ia ditampung dan dilindungi oleh Patih Masih seorang penguasa setempat. Patih Masih kemudian menobatkan Pangeran Samudra sebagai raja di Muara Kuin (1524) untuk menandingi kekuasaan Pangeran Tumanggung.
Tidak lama kemudian terjadilah perang saudara yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak. Pangeran Samudra kemudian meminta bantuan pasukan perang kepada Sultan Trenggono yang ketika itu berkuasa di Kerajaan Demak. Bantuan diberikan dengan syarat Pangeran Samudra harus memeluk agama Islam jika berhasil mengalahkan Pangeran Tumanggung dalam perang saudara itu.

KERAJAAN BANJAR, 1526-1905
Pangeran Samudra tampil sebagai pemenang. Pada tanggal 25 September 1526 ia resmi menjadi penguasa tunggal di bekas wilayah Kerajaan Negara Daha (meliputi daerah Kalsel, Kalteng, Kaltim, dan sebagian daerah di Kalbar sekarang ini).
Sejak itu Kerajaan Negara Daha berganti nama menjadi Kerajaan Banjar. Pangeran Samudra menobatkan dirinya sebagai raja di raja dengan gelar Sultan Suriansyah. Pusat pemerintahannya berada di Banjarmasin.
Kerajaan Banjar merupakan kerajaan pertama yang berideologi Islam di daerah ini. Sebelumnya, kerajaan yang berdiri di daerah ini berideologi Kaharingan (Kerajaan Nan Sarunai), Hindu (Kerajaan Negara Dipa), dan Budha (Kerajaan Negara Daha).
Seiring dengan dijadikannya kota Banjarmasin sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Banjar, maka sebagian besar warga negara yang selama ini tinggal di daerah hulu sungai melakukan eksodus besar-besaran ke kota Banjarmasin.
Selama keberadaannya, Kerajaan Banjar diperintah oleh 19 orang raja, yaitu :
1. Sultan Suriansyah (1526-1545),
2. Sultan Rahmatullah (1545-1570),
3. Sultan Hidayatullah (1570-1695),
4. Sultan Mustakimbillah (1595-1620)
5. Sultan Inayatullah (1620-1637),
6. Sultan Saidulllah (1637-1642),
7. Sultan Rakyat Allah (1642-1660),
8. Sultan Amrullah Bagus Kesuma (1660-1663),
9. Sultan Agung (1663-1679),
–. Sultan Amrulllah Bagus Kusuma (1680-1700),
10. Sultan Hamidullah (1700-1734),
11. Sultan Tamjiddullah (1734-1759),
12. Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah (1759-1761)
13. Sultan Tahmidullah (1761-1801),
14. Sultan Sulaiman (1801-1825)
15. Sultan Adam Al Wasyibillah (1825 -1857)
16. Pangeran Tamjidillah (1857-1859)
18. Pangeran Antasari gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (1862), dan
19. Sultan Muhammad Seman (1862-1905)
(Usman, 1994:302-304).

source: banua hujung tanah

Arif Rahman (Bakulaan) Hidup adalah seni yang terus dan terus kita jalani, kadang kita di atas dan kadang kita di bawah, kadang kita tertawa sejenak dan kadang kita akan menitikan air mata, dan kita hanyalah wayang yang tak tahu sampai mana ending dari seni dunia ini.

Belum ada Komentar untuk "KERAJAAN DAHA Kalsel"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel